Rabu, 06 Agustus 2008

Sejarah - Pura Gumang di Bukit Juru Karangasem

Varsikamscaturo nasanyatha
Indrobhipravarsati, tathabhi-
Varsetsmam rastra, kamair
Indra vratam caran.
(Manawa Dhramasastra, IX, 304)

Maksudnya:
Laksana Dewa Indra menurunkan hujan yang berlimpah selama empat bulan setiap tahun, demikianlah raja menempati kedudukan bagaikan Dewa Indra dengan menghujankan kemakmuran bagi rakyatnya.

KEBERADAAN Pura Gumang di Bukit Juru, Desa Bugbug, Karangasem ada hubungannya dengan adanya mata air yang mengaliri sawah ladang di sekitar Desa Bugbug. Keterangan tertulis yang bernilai sejarah tentang Pura Gumang di Bukit Juru ini memang sampai saat ini masih belum ditemukan. Keterangan tentang pura tersebut hanya didapat dari keterangan orang tua seperti pemangku yang menjadi jan bangul di Pura Gumang dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang menaruh perhatian tentang agama dan adat Hindu. Cerita itu didapatkan secara turun-temurun.

Menurut cerita rakyat yang dicatat oleh Tim Penelitian Sejarah Pura IHD (kini Unhi) diceritakan sbb: Dahulu kala ada seorang dari Jawa bernama I Dewa Gede datang ke Bali. Saat I Dewa Gede datang ke Bali, masyarakat Bali tidak begitu hirau. Setelah beberapa lama I Dewa Gede berputar-putar di Bali akhirnya menemukan tempat yang sangat menenangkan hatinya. Tempat itu adalah Bukit Juru yang juga bernama Bukit Gumang.

Di tempat itu I Dewa Gede melakukan olah tapa sambil bertani bersama-sama masyarakat setempat. Di daerah Bukit Juru tersebut pertanian mengandalkan air tadah hujan. Upaya menghijaukan Bukit Juru tidak pernah berhenti dilakukan oleh I Dewa Gede. Di samping itu I Dewa Gede dalam melakukan oleh tapa itu senantiasa memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muncul mata air dan sungai untuk kesuburan pertanian masyarakat di sekitarnya.

Upaya melakukan penghijauan dengan air tadah hujan dan melakukan tapa brata itu akhirnya suatu saat muncullah mata air di Pura Gumang di Bukit Juru sekarang ini. Keberhasilan usaha I Dewa Gede bersama masyarakat petani secara sekala dan niskala ini menyebabkan I Dewa Gede dicintai oleh rakyat. Hal itu berhasil karena waranugraha Hyang Widhi Wasa. Karena adanya waranugraha itulah akhirnya Pura Gumang didirikan di mata air tersebut.

Kata Gumang konon berasal dari paiguman yang artinya musyawarah. Karena setelah I Dewa Gede berhasil menghijaukan Bukit Juru itu dengan upaya sekala dan niskala akhirnya rakyat mengadakan rapat atau dalam bahasa Bali igum untuk mengadakan upacara di Pura Gumang dan memberikan hadiah sapi kepada I Dewa Gede. Saat itu I Dewa Gede diberikan tambahan nama menjadi I Dewa Gede Gumang. Konon sapi-sapi persembahan rakyat itu baru habis setelah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sapi-sapi itu habis ditembaki oleh orang-orang Belanda dan Jepang yang suka berburu di Bukit Juru itu.

Ada juga versi lain tentang keberadaan Pura Gumang Bukit Juru ini. Menurut Jero Mangku Nengah Silur, zaman dahulu kala para dewa turun dari Gunung Mahameru di India ke Jawa dan Bali. Di Bali para dewa ke Pulaki, Silayukti, Candidasa. Di Candidasa ini para dewa menemukan air. Air itu atas kehendak para dewa terus menjadi telaga dengan tamannya.

Para dewa ingin bermeditasi dengan dapat melihat Gunung Agung dengan Pura Besakih-nya secara lurus. Ternyata dari Candidasa para dewa tidak dapat melihat Gunung Agung dengan jelas dan lurus. Terus pindah ke Gunung Gundul, ke Bukit Pejenengan.

Ternyata sama juga Gunung Agung tidak bisa dilihat secara baik. Dari dua tempat itu akhirnya berpindah ke Bukit Juru yang berbahadan tiga. Dari Bukit Juru inilah para dewa baru melihat Gunung Agung dengan lurus. Di Bukit Juru inilah para dewa melakukan musyawarah atau dalam bahasa Bali mapaiguman melakukan yoga dan tapa serta mendirikan pura memuja Hyang Widhi di Pura Besakih.

Lewat paiguman itulah Bukit Juru disebut Bukit Gumang. Yang mapaiguman itu adalah para dewa untuk melimpahkan karunianya pada umat yang berusaha memajukan hidupnya, seperti mengembangkan tradisi kehidupan yang agraris. Di Tampaksiring juga ada Pura Gumang yang dilatarbelakangi oleh pertemuan Dewa Indra dengan para dewa untuk menata kehidupan di Bali setelah dapat mengalahkan Maya Denawa.

Dalam mitologi Maya Denawa dinyatakan, di tempat Dewa Indra mapaiguman inilah dibangun Pura Catur Paiguman selanjutnya disebut Pura Gunung di Tampakdiring.

Di Pura Gumang di Bukit Juru Karangasem terdapat beberapa pelinggih utama dan pelengkap. Ada Pelinggih Gedong sebagai stana Ida Batara Gede Gumang yang juga disebut Ida Batara Gede Manik Mas Kecatur. Di kiri-kanan Palinggih Gedong itu agak mundur sedikit terdapat tiga Pelinggih Taksu yang mengapit Pelinggih Gedong. Dua di kiri Gedong dan satu di kanannya. Tiga Pelinggih Taksu tersebut sebagai Pelinggih Taksu Ida Batara Gede Gumang.

Ada Pelinggih Meru Tumpang Tiga sebagai stana Ida Batara Uma saktinya Dewa Siwa. Mengapa Gedong Pelinggih Ida Batara Gede Gumang disebut Ida Batara Gede Manik Mas Kecatur. Hal ini mungkin sebagai bukti bahwa I Dewa Gede itu pemuja Batara Siwa dengan saktinya Sang Catur Dewi.

Dewa Siwa memiliki empat Sakti yaitu Dewi Uma, Dewi Parwati, Dewi Gangga dan Dewi Gauri. Empat Sakti Siwa inilah yang disebut Sang Catur. Dalam kaitannya memuja Tuhan untuk memohon turunnya mata air dan sungai yang mengalir di daerah Bugbug, Jasi, Bebandem, Datah dan Ngis, ada kaitannya dengan cerita turunnya Sungai Gangga dari Sorgaloka dalam cerita Purana di India.

Pendirian pelinggih untuk I Dewa Gede ini tentunya dibuat setelah I Dewa Gede Gumang sudah berbadan niskala dalam statusnya yang sudah menjadi Dewa Pitara. Umumnya roh suci atau Dewan Pitara seorang tokoh dibuatkan pelinggih bukan oleh diri tokoh tersebut, dapat dipastikan dibuat oleh keturunannya atau masyarakat generasi setelah tokoh tersebut sudah berbadan niskala sebagai Dewa Pitara atau Siddha Dewata.

* I Ketut Gobyah